Rabu, 27 Januari 2021

Siap Mengabaikan Resiko Vaksin?

 Apakah vaksin yang dikembangkan dalam waktu singkat benar-benar aman? Reaksi imunisasi normal apa yang bisa diprediksi? Apakah ada efek sampingnya? Ini penjelasan singkatnya.

Ratusan juta orang di seluruh dunia mengharapkan vaksinasi secepatnya melawan virus corona. Namun dalam waktu bersamaan, banyak orang ragu dan takut. Sebab, di satu sisi mereka ingin melindungi dari dari infeksi Covid-19, namun di sisi lainnya takut pada efek samping vaksin baru itu.

Banyak yang mengasingkan keamanan vaksin yang dikembangkan sangat cepat itu. Mereka mempertanyakan apakah efek sampingnya sudah benar-benar diteliti dengan memadai. Pertanyaannya cukup panjang: reaksi vaksinasi mana yang normal? Apa efek samping yang mungkin muncul? Apakah saya harus divaksinasi?

Reaksi vaksinasi normal

Apapun jenis vaksin yang diberikan, reaksi tertentu tubuh setelah imunisasi adalah hal normal. Reaksi normal biasanya tidak memicu gejala berat. Demam ringan, sakit kepala dan nyeri anggota tubuh, bengkak di lokasi suntikan atau gatal-gatal, dalam waktu tiga hari setelah divaksinasi bukanlah hal aneh.

Reaksi khas setelah vaksinasi semacam itu, juga sudah dilaporkan muncul dari vaksin yang sudah digunakan, yakni buatan BioNTech-Pfizer, Moderna, AstraZeneca dan vaksin buatan Rusia, Sputnik V.

Siap mengabaikan risiko vaksin?

Hal ini menjadi tanggung jawab tiap individu. Setiap orang harus menimbang sendiri, apakah baginya  keuntungan lebih besar dari risikonya? Apakah bagi saya lebih penting, melindungi diri saya sendiri dan orang lain lewat vaksinasi? Dan dengan begitu kembali menjalani hidup normal. Atau, bagi saya risiko dari vaksin teknologi terbaru ini terlalu besar?

Juga ada pertimbangan lain, semua risiko dan efek samping sejauh ini tercatat, adalah data rekaman momen per momen dari beberapa bulan belakangan. Ini harus dicatat, agar kita tidak terlalu euforia menanggapi proses cepat pengembangan vaksin. Seperti pengalaman pada vaksin lain sebelumnya, studi jangka panjang lah yang akan memberikan kejelasan. Inilah yang disebut fase 4, dengan monitoring vaksinasi global setelah izin dikeluarkan.

Nur Azizah Hidayah

Mahasiswi KPI

UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Mengenal Ketua DKM Masjid Jami AL hidayah Sindangkasih, Ciamis


 Ustad Muksin Ismail A.Ma,Pd adalah Ketua DKM Masjid Jami Al hidayah Desa Sindangkash Kabupaten Ciamis Jawa Barat. beliau mengabdikan dirinya sebagai tokoh berperas di desa sindangkasih untuk menjungjung nilai keislaman dan menebar kebaikan.


Masjid Jami Al hidayah merupakan masjid utama di desa sindangkasih rt 19 rw 07. Masjid yg sering di gunakan untuk kajian rutin juga kegiatan lainnya yg ada di desa sindangasih. 

Boikot Sifat Premanisme


 Negara hukum adalah negara yang komposisinya diatur oleh hukum sehingga semua kekuasaan pemerintah didasarkan pada hukum, rakyat tidak boleh bertindak sewenang-wenang sesuai dengan kehendak mereka sendiri, yang bertentangan dengan hukum. Saat ini tingkat kejahatan di Indonesia sangat tinggi dan jenis kejahatan berkembang dengan istilah kejahatan luar biasa Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari senantiasa diatur oleh peraturan, baik tertulis dan tidak tertulis. Semua kegiatan warga negara diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di Indonesia terdapat hukum tidak tertulis dan hukum tertulis. Keduanya berfungsi untuk mengatur warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Salah satu kejahatan yg menggangu situasi keamanan adalah premanisme. premanisme adalah jenis kejahatan yang secara langsung menyentuh masyarakat. Pelaksanaan mewujudkan rasa aman terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan premanisme mengharuskan Polisi sebagai petugas penegak hukum, pelindung dan penjaga masyarakat untuk melaksanakan tugasnya dengan serius berdasarkan profesionalisme menuju Kepolisian Nasional yang independen dan tepercaya harus mengambil langkah strategis untuk mengatasi kejahatan preman.

Premanisme adalah tindak pidana kekerasan dan juga diatur dengan sangat jelas dalam KUHP yang diatur dalam Pasal 89 KUHP, (Pasal 365 KUHP), Pemerasan (Pasal 368 KUHP), pemerkosaan atau pemerkosaan (Pasal 285 KUHP), penganinyaan (Pasal 351 KUHP), kerusakan barang (Pasal 460 KUHP), yang tentu saja dapat mengganggu ketertiban umum dan menimbulkan keresahan di masyarakat. 

Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan membersihkanpreman yang dikenal sebagai Petrus atau penembakan misterius. Lusinan dan bahkan ratusan preman ditembak mati secara misterius, kemudian tubuh mereka sengaja ditinggalkan dan tidak diurus di jalan raya untuk dilihat oleh penduduk (Asshiddiqie 1995), kebijakan penembak misterius membuat terapi kejut dan pengobatan kejut sehingga penjahat tidak berani bereaksi lagi.

Kapolri telah memerintahkan jajarannya untuk menindak tegas aksi premanisme dan jangan diberi ruang gerak sedikit pun. Jenderal Idham juga mengapresiasi jajaran Polda Metro Jaya telah menangkap kelompok John Kei yang menyebabkan satu orang tewas. Kapolri Idham mengatakan intinya negara tidak boleh kalah dengan preman. Negara harus hadir, tidak boleh kalah dengan aksi-aksi premanisme. "Penganiayaan, pengrusakan dan penjarahan sangat tidak dibenarkan," tegas mantan Kapolda Metro Jaya.

Nur Azizah Hidayah

Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bnadung


Hak Asasi Manusia dalam Melakoni Kebebasan


Hak asasi manusia merupakan hak yang secara hakiki dimiliki oleh manusia karena martabatnya sebagai manusia yang dimilikinya sejak lahir. Pada dasarnya, hak asasi manusia itu  merupakan hak yang inherent dimiliki oleh setiap manusia sebagai makhluk Tuhan. Dengan begitu hak asasi manusia dimiliki oleh siapapun, tidak terkecuali oleh anak. Bahkan di dalam terminologi hukum perdata, hak keperdataan seseorang itu telah diakui semenjak ia masih berada dalam kandungan.

Mendasarkan pada pemikiran bahwa hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri, berarti juga meliputi jaminan perlindungan atas hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (non-derogable rights), yakni hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan lain sebagainya.

Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu ciri dari Negara Hukum adalah adanya hak asasi manusia (HAM) dalam penye-lenggaraan negara. Indonesia, sejak merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menegaskan pembelaannya terhadap hak asasi manusia sebaagaimana ternyata dalam klausul Pembukaan UUD 1945 dan dalam batang tubuh UUD 1945 yakni pada pasal 27-34. Di era reformasi, pada pemerintahan Presiden Habibie, Presiden bersama DPR meratifikasi konvensi PBB yang menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia kedalam UU No. 5 Tahun 1998. Kemudian MPR juga menerbitkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, yang ditindaklanjuti dengan keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Sesuai dengan tata urut perundangan di Indonesia berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, sebenarnya produk-produk yang telah dikeluarkan oleh pemerintah (MPR, DPR dan Presiden) yang menindaklanjuti substansi HAM dalam UUD 1945 dengan menetapkan Ketetapan MPR dan UU tersebut sudah betul. Namun ketika kemudian MPR melakukan amandemen UUD 1945 yang kedua, yaitu pada tanggal 18 Agustus Tahun 2000 dengan menambahkan bab dan pasal khusus yang berisi tentang HAM (sebagaimana tersebut dalam Bab X-A pasal 28-A s/d. pasal 28-J), telah membuat rancu tata urut peraturan perundangan di Indonesia karena tidak sesuai dengan substansi pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011.

HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas siapapun[16]. HAM baru dikenal secara internasional setelah deklarasi HAM oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Sedangkan Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun demikian para pendiri negara dan bangsa ini sadar betul akan hakekat HAM tersebut, sehingga, ketika menyiapkan naskah piagam untuk kemerdekaan Indonesia (yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945), dengan tegas pada alinea pertama naskah tersebut menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapus-kan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”

Nur Azizah Hidayah

Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Penyebab Masyarakat Acuhi Protokol Kesehatan

 Sehubungan dengan viral nya tagar #IndonesiaTerserah belakangan sering muncul dalam perbincangan publik di media sosial Terutama di media Twitter sempat menduduki Tagar Pertama sebagai mana isinya penyaluran rasa frustrasi dan kekecewaan masyarakat terhadap penanganan wabah COVID-19 di Indonesia.

Pemerintah membuat dan berulang kali mengimbau pentingnya penerapan protokol kesehatan untuk melindungi diri dari paparan virus Corona atau Covid-19. Seperti jaga jarak, cuci tangan, penggunaan masker hingga tetap di rumah. Tetapi, banyak juga masyarakat belum sepenuhnya mematuhi aturan tersebut. Dinilai yang menjadi penyebab adalah gaya komunikasi pemerintah saat menyikapi Covid-19 di awal kemunculannya.

Jika Dalam perspektif komunikasi, sebuah pesan akan didengarkan apabila penyampai pesan konsisten mempraktikkan antara yang disampaikan dengan yang dilakukan. Bukan membuat hal-hal yang membingungkan penerima pesan.

Saat salah satu pemerintah daerah bergerak dan berinisiatif, pemerintah pusat tidak cepat bersinergi dan berkoordinasi, tetapi menjadikannya sebagai bahan pertimbangan di saat masyarakat butuh ketegasan dan kepastian. Sehingga munculnya wacana di masyarakat (misalnya di media sosial) bahwa ketidakselarasan antara pemerintah pusat dan daerah dimainkan dalam ranah politik kepentingan.

Akibat gaya komunikasi model itu, masyarakat sulit mematuhi 100% imbauan yang disampaikan. Ditambah lagi, tidak diterapkannya sejak awal sanksi tegas bagi mereka yang melanggar protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

Selain itu, pertarungan dan pendekatan ide antara pendekatan kesehatan dan pendekatan ekonomi tidak dipahami dan ditemukan jalan tengahnya. Akibatnya, masyarakat yang mengerti semakin bingung, sedangkan masyarakat yang tidak tahu menjadi pasrah dan tidak peduli.

Salam,

Nur azizah hidayah (119 4020 143)

Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Memahami Batasan BerOpini


Semakin berkembangnya zaman semakin berubah juga pola berkomunikasi. Seperti pepatah populer ini "Mulutmu harimaumu" yang dulu begitu erat dengan nilai-nilai dalam kebebasan berpendapat kini berubah jadi "jempolmu harimaumu", gambaran betapa masyarakat lebih doyan update status ketimbang ngobrol semalaman di warung kopi. Enggak ada yang salah. Hanya jadi membingungkan ketika bersinggungan dengan isu kebebasan berpendapat.

Kebebasan berpendapat merupakan hak yang melekat dalam diri setiap individu sejak ia dilahirkan. Hak tersebut dijamin oleh konstitusi dan negera. Dan Indonesia sebagai negara hukum dan demokratis berkewajiban mengatur dan melindungi hak ini. Kebebasan menyampaikan pendapat tanpa tekanan dari pihak manapun maupun kebebasan dalam berfikir diatur dalam perubahan ke empat UUD Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 E ayat 3, bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Menurutnya, "Keberadaan UU ITE mengancam kebebasan berekspresi di media sosial," kata Haeril kepada era.id sore tadi, Senin (10/12/2018). Soal ini, Amnesty International berharap adanya revisi dari UU ITE "yang kami anggap mengancam kebebasan berpendapat, salah satunya pasal 27 itu," ujar Haeril.

Bahwa saat ini kita sedang berada dalam ancaman berita-berita palsu itu memang benar. Tapi, menurut Haeril, sedikit-sedikit memenjarakan orang yang berpendapat juga bukan pilihan bijak.

"Hal itu harus ditanggapi dengan tidak serta merta melakukan pendekatan kriminal, harus ada pendekatan persuasif dari aparat," katanya.

Memang, ada hal yang perlu diperhatikan juga dalam menyampaikan pendapat. Meski kebebasannya dijamin banget, pendapat kita tetap harus didasari oleh data dan fakta. Enggak sembarangan, ceunah.

"Jadi kalau kita beropini harus selalu berdasarkan data dan fakta," jelasnya.

Meskipun kita memiliki hak kebebasan dalam mengeluarkan pikiran ataupun pendapat, akan tetapi kebebasan itu bukan merupakan kebebasan mutlak yang tanpa batas. Kebebasan yang kita jalani adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara karena hak kita enggak terlepas dari kewajiban yang kita miliki dan harus dipenuhi.

Merujuk kepada aturan yang lebih universal, secara luas, dunia memberikan pengakuan atas kebebasan untuk mencari, mengumpulkan, dan untuk menyebarluaskan informasi sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 19 Universal Declaration of Human Right, yang menyatakan: Setiap orang berhak untuk berpendapat dan berekspresi, hak ini termasuk kebebasan untuk berpendapat tanpa ada intervensi untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan ide melalui media apapun dan tetap memperhatikan batasan-batasan.

Nur azizah hidayah

Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam

UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Pembatasan Dalam Kebebasan Hak Asasi


Semakin berkembangnya zaman semakin berubah juga pola berkomunikasi. Seperti pepatah populer ini "Mulutmu harimaumu" yang dulu begitu erat dengan nilai-nilai dalam kebebasan berpendapat kini berubah jadi "jempolmu harimaumu", gambaran betapa masyarakat lebih doyan update status ketimbang ngobrol semalaman di warung kopi. Enggak ada yang salah. Hanya jadi membingungkan ketika bersinggungan dengan isu kebebasan berpendapat.

Kebebasan berpendapat merupakan hak yang melekat dalam diri setiap individu sejak ia dilahirkan. Hak tersebut dijamin oleh konstitusi dan negera. Dan Indonesia sebagai negara hukum dan demokratis berkewajiban mengatur dan melindungi hak ini. Kebebasan menyampaikan pendapat tanpa tekanan dari pihak manapun maupun kebebasan dalam berfikir diatur dalam perubahan ke empat UUD Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 E ayat 3, bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Menurutnya, "Keberadaan UU ITE mengancam kebebasan berekspresi di media sosial," kata Haeril kepada era.id sore tadi, Senin (10/12/2018). Soal ini, Amnesty International berharap adanya revisi dari UU ITE "yang kami anggap mengancam kebebasan berpendapat, salah satunya pasal 27 itu," ujar Haeril.

Bahwa saat ini kita sedang berada dalam ancaman berita-berita palsu itu memang benar. Tapi, menurut Haeril, sedikit-sedikit memenjarakan orang yang berpendapat juga bukan pilihan bijak.

"Hal itu harus ditanggapi dengan tidak serta merta melakukan pendekatan kriminal, harus ada pendekatan persuasif dari aparat," katanya.

Memang, ada hal yang perlu diperhatikan juga dalam menyampaikan pendapat. Meski kebebasannya dijamin banget, pendapat kita tetap harus didasari oleh data dan fakta. Enggak sembarangan, ceunah.

"Jadi kalau kita beropini harus selalu berdasarkan data dan fakta," jelasnya.

Meskipun kita memiliki hak kebebasan dalam mengeluarkan pikiran ataupun pendapat, akan tetapi kebebasan itu bukan merupakan kebebasan mutlak yang tanpa batas. Kebebasan yang kita jalani adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara karena hak kita enggak terlepas dari kewajiban yang kita miliki dan harus dipenuhi.

Merujuk kepada aturan yang lebih universal, secara luas, dunia memberikan pengakuan atas kebebasan untuk mencari, mengumpulkan, dan untuk menyebarluaskan informasi sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 19 Universal Declaration of Human Right, yang menyatakan: Setiap orang berhak untuk berpendapat dan berekspresi, hak ini termasuk kebebasan untuk berpendapat tanpa ada intervensi untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan ide melalui media apapun dan tetap memperhatikan batasan-batasan.

Nur azizah hidayah

Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam

UIN Sunan Gunung Djati Bandung


HAM dan Hukum di Indonesia


Hak asasi manusia merupakan hak yang secara hakiki dimiliki oleh manusia karena martabatnya sebagai manusia yang dimilikinya sejak lahir. Pada dasarnya, hak asasi manusia itu  merupakan hak yang
inherent dimiliki oleh setiap manusia sebagai makhluk Tuhan. Dengan begitu hak asasi manusia dimiliki oleh siapapun tidak terkecuali oleh anak. Bahkan di dalam terminologi hukum perdata, hak keperdataan seseorang itu telah diakui semenjak ia masih berada dalam kandungan.

Mendasarkan pada pemikiran bahwa hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri, berarti juga meliputi jaminan perlindungan atas hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (non-derogable rights), yakni hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan lain sebagainya.

Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu ciri dari Negara Hukum adalah adanya hak asasi manusia (HAM) dalam penye-lenggaraan negara. Indonesia, sejak merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menegaskan pembelaannya terhadap hak asasi manusia sebaagaimana ternyata dalam klausul Pembukaan UUD 1945 dan dalam batang tubuh UUD 1945 yakni pada pasal 27-34. Di era reformasi, pada pemerintahan Presiden Habibie, Presiden bersama DPR meratifikasi konvensi PBB yang menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia kedalam UU No. 5 Tahun 1998. Kemudian MPR juga menerbitkan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, yang ditindaklanjuti dengan keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Sesuai dengan tata urut perundangan di Indonesia berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, sebenarnya produk-produk yang telah dikeluarkan oleh pemerintah (MPR, DPR dan Presiden) yang menindaklanjuti substansi HAM dalam UUD 1945 dengan menetapkan Ketetapan MPR dan UU tersebut sudah betul. Namun ketika kemudian MPR melakukan amandemen UUD 1945 yang kedua, yaitu pada tanggal 18 Agustus Tahun 2000 dengan menambahkan bab dan pasal khusus yang berisi tentang HAM (sebagaimana tersebut dalam Bab X-A pasal 28-A s/d. pasal 28-J), telah membuat rancu tata urut peraturan perundangan di Indonesia karena tidak sesuai dengan substansi pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011.

HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas siapapun[16]. HAM baru dikenal secara internasional setelah deklarasi HAM oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Sedangkan Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun demikian para pendiri negara dan bangsa ini sadar betul akan hakekat HAM tersebut, sehingga, ketika menyiapkan naskah piagam untuk kemerdekaan Indonesia (yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945), dengan tegas pada alinea pertama naskah tersebut menyatakan Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapus-kan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan

Nur Azizah Hidayah

Mahasiswi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam

UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Penyebaran HOAX di Media Massa




media sosial yang mulai ramai karena kecanggihan teknologi masa kini yaitu handphone

pintar, membuat banyak orang dari berbagai usia dan kalangan saling berlomba menggunakan

media sosial. Juga ramainya Fenomena hoax di tengah kalangan masyarakat modern ini.

pengguna media sosial membuat mereka terpancing untuk menjadi lebih terkenal lewat media

sosial. Hal demikian membuat mereka melakukan berbagai cara untuk bisa terkenal. termasuk

dengan membuat dan meyebarkan berita-berita palsu dengan saling menjatuhkan atau

mengangkat orang atau peristiwa sebagai subyek mereka.

Maraknya kasus berita dan informasi hoax ini terus meningkat hingga membuat banyak orang

resah karna harus percaya atau tidak pada berita yang muncul dalam media sosial. Berbagai tips

dan cara menghindari hoax pun di sebar demi kenyamanan dan kebenaran yang diterima oleh

para pengguna media sosial.

Lalu, bagaiaman sikap kita untuk menghindari berita hoax? Terlebih kita harus sering mengkaji

ulang alih-alih judul yg mengikat, akan lebih baik tidak mudah percaya akan sumber sumber yg

tersebar begitu saja sebelum menggali lebih dalam. Membudayakan literasi disini adalah kunci

utamanya, kadangkala kita mudah puas dengan hasil yg sudah tersebar di statiun tv Indonesia.

Masyarakat sebagai konsumen informasi bisa dilihat masih belum bisa membedakan mana

informasi yang benar dan mana informasi yang palsu atau hoax belaka. Beberapa faktor

mempengaruhi terjadinya hal ini diantaranya yaitu ketidaktahuan masyarakat dalam

menggunakan media sosial secara bijaksana. Dengan mengatasnamakan kebebasan para

pengguna internet dan media sosial khususnya banyak netizen yang merasa mempunyai hak

penuh terhadap akun pribadi miliknya. Mereka merasa sah-sah saja untuk menggunggah tulisan,

gambar atau video apapun ke dalam akunnya. Meskipun terkadang mereka tidak sadar bahwa

apa yang mereka unggah tersebut bisa saja melanggar etika berkomunikasi dalam media sosial.

Dalam Motif menganalisis beberapa aspek tentnag isi hoax yang terjadi pada awal tahun 2017,

banyak mengandung unsur latar belakang dibalik penyebarannya. Aspek-aspek di balik

penyebaran hoax kebanyakan adalah bidang politik, ekonomi, dan agama. Banyak pengguna

media sosial, baik itu penyebar informasi ataupun pembacanya, berlomba-lomba mencari

informasi sebanyak mungkin tentang hal-hal yang dianggap ramai dan menarik untuk

diperbincangkan. Bahkan memungkinkan pembaca informasi di media sosial mengubah isi dan

fakta yang ada berbeda dengan kenyataan yang terjadi. Demi meramaikan akun media sosial,

mereka tak sadar bahwa apa yang mereka lakukan dengan mengubah kenyataan informasi

membuat pembacanya memiliki pandangan lain yang tak sesuai fakta.

Nur Azizah Hidayah

Mahasiswi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam

Pentingnya Memahami isi UU Sebelum Menyuarakan Pendapat


 Sebenarnya sampai mana kebebasan berpendapat di Indonesia? 

Dalam Undang-Undang Dasar 45 Pasal 28E ayat 3 tertulis “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Namn kerap kali kejadian menyuarakan hak nya malah menghina bahkan menjatuhkan Lembaga aparat pemerintah.

Jika sebelum tahun 90an atau sebelum era masuknya internet di Indonesia, penyampaian pendapat hanya dapat dilakukan dalam forum-forum tertentu dan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu, namun dengan keluarnya UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat sesuai dengan hati nuraninya. Era tahun 2000an merupakan era internet yang berkembang pesat serta munculnya berbagai media online yang semakin mempermudah orang-orang untuk menyalurkan informasi dan pendapatnya. Namun seiring maraknya kasus-kasus penyalahgunaan penyebaran informasi melalui media online, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengeluarkan UU ITE pada tahun 2008 untuk memberikan batasan atas kebebasan berpendapat dan bertransaksi melalui media elektronik.

Undang Undang adalah salah satu peraturan tertulis dan peraturan perundang undangan, sementara peraturan perundang undangan merupakan seluruh peraturan hukum tertulis oleh otoritas negara mulai dengan UU yang di susun serta disahkan bersama baik oleh parlemen atau oleh Lembaga eksekutif, hingga peraturan mentri, peraturan daerah, bahkan peraturan mahkamah agung yang mengikat umum.

Konstitusi RI berupa UUD RI 1945 menjadi perundang undangan tertinggi dan “payung” dari segala perundang undangan, Secara hierarki. Hirearki berikutnya satu tingkat di bawah UUD RI1945 ialah undang undang dan di bawah undang undang kita dapat menemukan jenjang sebagai berikut: peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan penganti presiden (PERPU), peraturan mentri, peraturan daerah (PERDA), bahkan hingga peraturan mahkamah agung (PERMA).

Mengapa hal ini menjadi penting dan perlu diketahui dengan baik oleh setiap warga negara? Karena setiap negara hukum (rechtsstaat) mengakui dan menerapkan suatu asas fiksi yang sangat kejam: “Setiap orang di anggap mengerti dan mengetahui hukum. Tidak mengetahui berarti lalai untuk mengetahui, dan itu berarti ancaman hukum terbuka lebar di bawah kaki mereka.” Sadis bukan?


Salam,

Nur azizah hidayah (119 4020 143)

Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Selasa, 19 Januari 2021

Arti Sisi Jurnalisme Dakwah

 Mengenal Sisi Jurnalisme Dakwah

Mengenal jurnalisme dakwah berarti mengenal 2 bahasa sekaligus. Sisi kejurnalisan nya juga makna berdakwah nya, Seperti sepasang sepatu kedaunya berdampingan. Scara langsung kita berhadapan dengan media yg mana isinya merujuk kepada syiar agama. Mengangkat isu amal ma’ruf nahi mungkar.

 Di sisi lain, pengangkatan tentang isu ke agamaan kpd media memang lah sensitif. Terlebih jika di bahas bukan dengan pakar nya, namun tidak menggugurkan kita selaku penganut agama islam untuk mengsyiarkan ajarannya kepada masyarakat umum. Walaupun background kita bukan ustdz/ah. Ini telah di terangkan di sebuah hadist “Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemunkaran, hendaknya dia merubah dengan tangannya, kalau tidak bisa hendaknya merubah dengan lisannya, kalau tidak bisa maka dengan hatinya, dan yang demikian adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

 Dalam konteks syiar yg di Kelola dalam Jurnalisme Dakwah berarti kita sudah mengangkat salah satu kewajiban kita sebagai khalifah allah. Terlebih seperti yg kita rasakan sekarang adanya penusukan Ghozul Fikri sebuah perang pemikiran, yg lambat laun mencuci perlahan fikiran kita terhadap suatu zaman yg sedang kita hadapi. Hal ini terasa sangat jelas yg mana Ketika banyaknya ulama ulama terhambat dalam berdakwah, tempatnya menjadi terbatas, ruang dan waktunya  menjadi sesaat. Siapa lagi dalang di balik ini jika bukan musuh islam itu sendiri. Maka bidang jurnalisme ini harus di tumbuh kembangi karena “Jika bukan konten yg baik  muncul/tenar, maka konten yg buruklah yg akan menguasai”.

 Scara garis besar dakwah itu di bagi menjadi lima, yaitu: lisan, tulisan, lukisan, audio visual, dan akhlak.

Yang pertama adalah lisan, media ini merupakan media yang paling sederhana, hanya menggunakan panca indera kita yaitu suara dan lidah. Media ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, penyuluhan, dan sebagainya. Yang kedua adalah tulisan, media dakwah ini dapat melalui buku, majalah, surat kabar, korespondensi (surat, e-mail), spanduk, dan lain-lain. Yang ketiga, media dakwah dapat melalui lukisan, gambar, karikatur dan lain sebagainya. Yang keempat  media dakwah Audio Visual yaitu alat dakwah yang dapat merangsang panca indra pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya, bisa berbentuk televisi, slide, internet dan sebagainya. Yang terakhir, akhlak yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran islam, yang dapat dinikmati dan didengarkan oleh mad‟u (orang yang menerima pesan dakwah).

Begitu banyak cara kita untuk berdakwah, semua Kembali pada Action kita terhadap kepedualian agama juga negara. Jika bukan kita yg menyebarkan maka orang yg melencenglah yg akan meresahkan.

 

Lalu apasih peluang jurnalisme dakwah dalam digital?

Informasi teknologi yang berkembang dengan sangat pesat telah berdampak kepada berubahnya pola kerja jurnalistik saat ini, termasuk kegiatan dakwah di mana sebagian besar praktiknya berkolaborasi langsung dengan jurnalistik sebagai sebuah ilmu dan keterampilan menyampaikan pesan. Dakwah yang dikemas stereotif tidak dapat dibiarkan berlama-lama sementara peluang masuk wilayah teknologi digital semakin luas, di mana predator pasar internet di Indonesia mencapai 899,97 juta jiwa pengakses. Dapat diibaratkan itu sebagai ceruk atau mad’u atau objek dakwah yang dapat digarap para dai. Jurnalistik sebagai kegiatan mencari atau memproduksi pesan tidak berhenti sebagai kajian ilmu terapan di tangan para cendekia muslim saat ini. Proses keterampilan jurnalisme yang mengusung hakikat kebenaran dapat dimodifikasi menjadi sebuah kegiatan atau proses penyajian kebenaran yang bersumber dari Al-Quran dan hadits Nabi, itulah makna dari Jurnalisme Dakwah. Jurnalisme Dakwah dapat menjadi model dalam pengembangan dakwah masa depan saat manusia tidak bisa lepas dari internet, tentunya dengan memperhatikan beberapa hal penting dalam studi jurnalisme secara umum sebagai panduan dasar dan pengembangan ilmu dakwah yang juga menempatkan kegiatan tabligh (penyiaran) sebagai bagian disiplin dakwah terapan di era digital.

Siap Mengabaikan Resiko Vaksin?

  Apakah vaksin yang dikembangkan dalam waktu singkat benar-benar aman? Reaksi imunisasi normal apa yang bisa diprediksi? Apakah ada efek sa...